Selama hampir dua tahun tinggal di Inggris, bukan sekali-dua kali saya melihat poster kampanye anti-hate crime seperti di atas, karena Northumbria Police alias satuan kepolisian di daerah saya ini memang memasangnya di mana-mana. Tapi baru sore ini, saya merasakan sendiri bahwa apa yang disuarakan oleh kampanye tersebut, tentang  ‘being you is not a crime, but targeting you is‘, ternyata bukan sekadar basa-basi slogan.

Sore tadi, saya dan seorang teman Indonesia yang juga berjilbab sedang ngobrol seru di terminal bus ketika seorang mbak bule duduk di bangku sebelah saya. Awalnya saya nggak terlalu memperhatikan dan tetap asyik ngobrol, sampai teman saya yang duduknya menghadap saya (dan otomatis juga menghadap si mbak bule di sebelah saya) berkata pelan, “Bil, mbak itu kayaknya ngomong sama kamu.”


Spontan saya menoleh, dan benar, si mbak bule sepertinya memang bicara sesuatu pada saya, dengan aksen yang semacam kumur-kumur dan super nggak jelas. Dari mulutnya menguar bau alkohol yang kuat. Saya mencoba bertanya untuk memperjelas apa yang dia katakan, tetap saja yang dia lontarkan cuma racauan kata-kata ngak jelas belaka. Setelah lima menit berusaha memahami apa yang diinginkan si mbak, saya dan teman saya itu mengangkat bahu dan sepakat kalo kita sebaiknya pergi saja.

Apakah masalah selesai ketika kami pergi? Oh tentu tidak. Si mbak bule ternyata justru membuntuti kami. Mulai ketakutan dan khawatir akan terjadi macam-macam, teman saya menyarankan untuk masuk saja ke toko terdekat. Setidaknya, di dalam toko akan ada banyak pengunjung lain dan sekuriti juga. Tapi tanpa disangka, si mbak bule terus mengikuti kami ke dalam toko! Tak butuh waktu lama, dia berhasil mencegat kami dan dengan nada sedikit membentak berseru “What’s matter?!”

Bingung campur tegang tapi sok tenang, kami cuma bisa balik bertanya dalam bahasa Inggris tentu saja, “Ada apa ya mbak? Kami kan ke sini mau belanja.” Tapi si mbak bule terus saja membentak ‘what’s matter‘ sambil meracau nggak jelas lagi, dan baru beranjak pergi setelah melihat seorang sekuriti berjalan menghampiri.

Sekuriti yang menghampiri kami kemudian bertanya hati-hati, “Kalian nggak apa-apa? Diapain tadi sama perempuan itu?” Dengan pikiran yang masih kacau karena tegang, kami mencoba menjelaskan kronologi kejadiannya. Usai menyimak cerita kami, bapak sekuriti berkata, “Saya merasa tindakan perempuan tadi aneh. Coba kalian tunggu di sini dulu aja ya, saya hubungi teman-teman sekuriti lain dulu dan cek keadaan di luar.”

Kami masih terbengong-bengong mencoba mencerna apa yang sedang terjadi ketika si bapak sekuriti kembali. Dia berkata bahwa si mbak bule itu masih ada di luar, tapi dia sudah memberitahu para sekuriti yang berjaga di luar untuk berjaga-jaga, mengawasi agar ketika kami keluar nanti, jangan sampai didekati oleh perempuan itu. Sebelum akhirnya kami pergi, bapak sekuriti berkata singkat, “If she says something that makes you afraid, just let the security officer outside know and they will do something.

Seketika terang-benderanglah semuanya. Dia rupanya menduga bahwa si mbak bule tadi mengintimidasi kami. Mungkin karena kami berjilbab. Mungkin karena muka kami yang sangat Asia. Mungkin karena keduanya, karena di sini kami adalah minoritas yang rentan menjadi sasaran perbuatan tidak menyenangkan berbasis kebencian. Dan bapak sekuriti ini ternyata benar-benar serius menanggap itu sebagai hate crime yang merupakan tindak kejahatan.

Sepanjang perjalanan keluar, kami berpapasan dengan beberapa sekuriti lain yang semuanya memegang radio komunikasi, bersiaga mengawasi. Dan saya pulang ke rumah dengan gemetar merinding terharu, sambil bertekad dalam hati, ketika saya pulang ke Indonesia nanti dan kembali menjadi bagian dari mayoritas, saya akan menjadi mayoritas yang adil dan melindungi mereka yang rentan, bukan mayoritas yang semena-mena mengintimidasi mereka yang terlihat lebih lemah dan tidak punya kuasa.

Kamu juga, akan begitu, kan? 🙂

 

#30HariNgeblog #Hari_ke_17