“Sherinaaaa, lariiiiii!!”

Penggalan teriakan Sadam itu adalah salah satu bagian yang paling tengiang-ngiang di benak saya dari film masa kecil yang tak lekang dimakan zaman ini: Petualangan Sherina. Iya, dibanding AADC yang ngehits kembali beberapa tahun terakhir ini lewat AADC Line dan AADC 2, saya memang lebih merasa memiliki keterikatan emosional dengan Petualangan Sherina, karena timeline-nya lebih pas dengan kehidupan nyata saya. Tahun 2000 saat Petualangan Sherina rilis, saya sekitar kelas 3-4 SD, sama seperti Sherina dan teman-temannya di film ini.

Nah, gara-gara sebuah artikel online yang kemarin sempat beredar di linimasa Facebook, saya jadi tergoda juga untuk nonton ulang Petualangan Sherina di sela-sela kebosanan ngerjain laporan magang. Meski sebenarnya udah tau detail ceritanya karena dulu udah nonton puluhan kali, udah tau apa yang akan terjadi sehabis apa, ternyata saya tetap nggak bosan menonton ulang film ini. Saya menikmati setiap ekspresi Sherina dan Sadam kecil yang natural dan menjiwai banget, saya (masih) ikutan nyanyi di setiap adegan nyanyi namanya juga drama musikal, dan saya akhirnya sekarang menyadari kenapa saya selalu sebel dan geregetan sama kebanyakan sinetron Indonesia jaman sekarang: karena saya besar bersama Petualangan Sherina. Loh apa hubungannya?

Jadi, di antara sekian banyak hal yang malesin dari kebanyakan sinetron Indonesia jaman sekarang, yang paling bikin saya geregetan adalah karena mereka umumnya menampilkan tokoh perempuan protagonis sebagai karakter yang lemah, cuma bisa pasrah dan nangis saat didzalimi, baik oleh tokoh laki-laki ataupun oleh tokoh perempuan antagonis. Di Petualangan Sherina ini yang terjadi justru kebalikannya. Karakter Sherina, si tokoh utama perempuan protagonis, di sini adalah karakter perempuan yang kuat. Hidupnya bukan hidup yang sempurna dan mulus-mulus aja, dia malah kena bully parah di hari pertamanya masuk sekolah baru. Tapi dia memutuskan untuk nggak diam saja. Dia memutuskan untuk melawan. Dia memutuskan untuk bicara dan mengambil tindakan yang dia anggap benar, meskipun awalnya nggak ada yang mendukung dia.

“Biarin aja, Sher. Sadam emang gitu. Kalo diladenin makin jadi.”
“Emang, nggak ada yang berani ngelawan dia?”
“Sadam itu kan suka main kasar. Siapa sih yang berani ngelawan dia.”
“Mmmm… kalo kubilang sih, orang kayak Sadam nggak usah dilawan. Urusan sama dia nggak enak, dijahatin melulu.”
“Jadi… mending, kita temenan sama dia meski dia tetep main kasar, gitu?”
“Memangnya kalau kamu jadi aku, kamu mau apa?”
“Ya lawan dong…”
“Memangnya kamu berani melawan mereka?
“Ya kalau kita benar, nggak usah takut…”

Coba, mana ada kalimat juaraaak kayak gitu keluar dari karakter perempuan protagonis menye-menye yang semacam selalu paling terdzalimi di sinetron jaman sekarang, kan?

Dan satu lagi adegan yang paling bikin saya sukaaaa banget sama karakter perempuan satu ini adalah reaksinya soal rok yang penuh lem kerjaan Sadam dan gengnya:

“Nggak usah dicuci dulu, Bu. Pokoknya, nanti kalau pelakunya ketemu, baru aku nyuruh dia cuci ini sampe bersih!”

Duh dek Sher, kok prinsip kita sama banget sih :3

 

#Hari_ke_25 #30HariNgeblog