“Eh beneran maaf banget loh Salsa, saya tadi nggak sopan gitu menawarkan minum ke kamu. Saya bener-bener lupa kalau kamu lagi nggak makan dan nggak minum…”

Kemarin sore, seorang rekan seruangan saya di kantor sampai bolak-balik meminta maaf, cuma gara-gara lupa kalau saya sedang berpuasa.

Jadi ceritanya, kalau akan mengambil minuman atau kue di dapur, orang-orang kantor saya punya kebiasaan menawarkan ke rekan seruangan yang lain apakah ada yang ingin titip diambilkan minum/kue juga. Ketika dua minggu yang lalu mereka menyadari bahwa saya nggak makan dan nggak minum seharian, saya pun bercerita pada mereka kalau saya lagi berpuasa karena alasan keagamaan sampai sebulan ke depan. Mereka cuma mengangguk-angguk dan sejak itu, mereka tidak lagi bertanya apakah saya ingin titip diambilkan minum juga atau enggak.

Tapi rekan seruangan saya sore itu tampaknya lupa, dan saat dia akan turun ke dapur, dia menawarkan pertanyaan standar-mengambil-minum itu ke saya. Saya menolak tawarannya dengan kalimat super British yang sangat halus. Seketika itu juga ia teringat,

dan minta maaf berkali-kali ke saya.

Saya ketawa-ketawa kecil aja, karena sungguh, saya sama sekali nggak merasa ada yang salah dengan tindakannya. Toh tawarannya tadi itu memang refleks standar di kantor ini, dan saya sama sekali nggak pernah minta diperlakukan khusus hanya karena saya berpuasa. Tapi teman saya itu tetap merasa sangat bersalah, meski saya sudah sampai berkali-kali cengar-cengir geje bilang nggak papa.

Mendadak saya jadi teringat ‘perang’ dan kegaduhan di media sosial soal siapa harus menghormati siapa, sampai ribut-ribut soal perda, aturan, paksaan, dan larangan. Yah, kalau buat saya sih, setulus-tulus penghormatan dan penghargaan adalah apa yang muncul karena kesadaran sendiri dari dalam jiwa, karena pemahaman; bukan sesuatu yang hadir sambil bersungut-sungut karena dipaksakan. Pemaksaan, alih-alih berhasil mendatangkan penghormatan, justru cuma akan membuat orang yang dipaksa merasa ilfil dan jengah.

Saya percaya, orang-orang yang punya pegangan nilai-nilai baik pastinya punya naluri untuk bertenggang rasa dan respek pada orang lain tanpa perlu dipaksa-paksa, seperti rekan kerja saya itu. Dan saya percaya juga, orang-orang yang punya pegangan nilai-nilai baik pastinya tidak perlu sampai memaksa-maksa orang lain agar bisa dihormati.

Lagipula, orang yang paling terhormat, bukankah justru adalah dia yang paling bisa menghormati dan menghargai orang lain?

#30HariNgeblog #Hari_ke_15